Sabtu, 31 Desember 2016

Grand Final Unsa Ambassador 2017 : Makna Sebuah Kemenangan (Part 3)



Pertemuanku dengan Ken yang keduakali tentunya lebih akrab. Apalagi pasca di Surabaya lalu, kami lebih sering komunikasi lewat media sosial. Ken sering menghubungiku kalau cerpennya dimuat di Padang Ekspres. Aku dengan senang hati membelikan dan membawakannya di pertemuan kami yang kedua ini. Ada sekitar empat atau lima koran yang kubawa dan itu semua ada cerpen Ken di dalamnya. Ken menghadiahkanku buku kumcer terbarunya “Museum Anomali” beserta tanda tangan dan wording.






Berbicara tentang Ken yang sekarang dan setahun lalu, Ken yang sekarang tubuhnya lebih berisi dan berbicaranya juga sudah mulai banyak. Ken juga mahir membully Vivi dan Nunuk. Namun kebiasaannya yang lama tetap tidak hilang, yaitu cepat gerah sehingga membuatnya mandi berkali-kali, akan terlihat sedikit panik ketika akan tampil di depan publik, dan ekspresi berfoto yang begitu flat.



Tujuan diadakan Grand Final Unsa Ambassador secara off air adalah agar kedua finalis terlatih mengeluarkan pendapat. Selain itu juga melatih mental dua finalis ini agar bisa bicara lepas di depan khalayak umum secara spontan. Pada hari penobatan ini, kedua finalis akan dicerca oleh para juri dengan berbagai pertanyaan. Nilai dari sesi tanya jawab inilah yang amat menentukan siapa yang akan menjadi Unsa Ambassador selanjutnya. Untukku sendiri pada tahun lalu, memang atmosfernya menegangkan sekali. Ditambah lagi jurinya memang jago soal nanya-nanya, hehe.

Bersama Ken dan Mbak Ajeng setahun lalu 



Para Juri setahun lalu


Pagi itu mobil yang akan membawa kami ke Rindu Rasa telah datang. Kami akan dibagi dua trip untuk ke sana. Finalis top 2 akan menyusul belakangan. Kami melewati stadion Pakansari tempat akan dilangsungkannya final AFF Indonesia vs Thailand besok lusa. Setibanya di sana, aku, Ken, Uncle, Uda Agus dan ditambah satu keponakan Uncle yang turut serta, mulai prepare dan menyusun draft acara hari ini. Pada saat ini pula Mas Oke Sudrajat muncul dan kami memiliki kesempatan yang cukup panjang untuk mengobrol. Aku tidak mau posting foto dengan Mas Oke, nanti Mbak Endang Istri Astuti malah kejang-kejang melihatnya, wkwk. Tidak lama Kang Sandza juga muncul setelah menempuh perjalanan jauh dari Bandung. Kami sempat bercakap-cakap sebelum acara dimulai. Barangkali ini hanya perasaanku saja kalau Kang Sandza yang di foto dengan yang dunia nyata agak beda. Wajah Kang Sandza yang sebenarnya lebih bercahaya dan bening menurutku. #serius

Pasang spanduk biar acara makin keceh








Ada yang merasa ini kayak tangga nggak? :v

Tim UNSA

Ini teh sama Kang Sandza :D

Setelah hampir dua jam mempersiapkan ini itu, menjelang pukul 11 acara dimulai. Agenda pertama adalah Grand Final Unsa Ambassador. Karena pernah berada di posisi yang sama setahun lalu, aku sangat mengerti dengan kegugupan Fian dan Vivi. Terlebih mereka disuruh duduk bersanding di depan layaknya pengantin. Untunglah ini tidak terjadi padaku setahun lalu. Kami memang disuruh duduk berdampingan namun tidak di depan seperti halnya Vivi dan Fian yang langsung menjadi titik pusat pandangan hadirin hadirot yang kepalanya kejedot.

Nervous abis

Ampun juri. Pertanyaannya gini amat yak!

Para undangan dipersilakan menikmati hidangan :v





Kedatangan Atissa Puti—penulis cerpen “Hari ke-40” dan merupakan pemenang 1 lomba menulis bersama Uda Agus season 6—menjadi angin segar dalam rangkaian acara. Tissa yang sudah wara-wiri jadi pembawa acara dimana-mana langsung menjadi host dan memandu jalannya sesi wawancara. Maka saat itu para juri pun langsung dihimbau untuk menduduki meja juri. Mereka adalah Uda Agus, Ken, Kang Khoer, Kang Sandza, Mas Oke, dan Kang Achoey.




Posenya sih senyum. Tapi Fian dan Vivi stres abis tuh. :D

 

Dewan juri yang terhormat

Atissa Puti
Uda Agus sekaligus yang menjadi ketua dewan juri memulai pertanyaan dengan apa arti sahabat menurut Vivi dan Fian. Fian mendapat kesempatan pertama menjawab. Lalu... bla bla bla. Meluncurlah dari bibir mereka masing-masing about friend and friendship. Aku pikir ini pemanasan yang cukup baik dengan harapan mereka sudah on fire untuk pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan kedua dari Uda Agus membuat fiksi mini tentang sahabat. Vivi mendapat giliran pertama dan terlihat berpikir agak lama untuk menjawab. Kemudian meluncur juga dari bibirnya sesuatu tentang sahabat.
 
Vivi tengah konsentrasi menjawab pertanyaan


Menyoal tentang fiksi mini sendiri, tahun lalu aku juga mendapat pertanyaan begini dari Aiman Bagea yaitu membuat fiksi mini tentang hujan. Aku mendapat pengalaman buruk. Dengan panjang lebar aku berkisah tentang penantian seseorang dalam hujan. Pokoknya ambigu banget. Ketika giliran mbak Ajeng, beliau hanya melontarkan beberapa kata-kata saja, and its very wonderfull. Lagi pula, sejak dulu Uda Agus sering mengingatkanku untuk fiksi mini sebenarnya dengan satu kalimat saja sudah mewakili. Maka dalam hati aku sudah berteriak-teriak agar Vivi tidak terlalu berpanjang-panjang. Buat saja satu kalimat misalnya, 

“Sudah lama sahabatku tidak menemuiku, kali ini ia datang dengan membawa banjir bandang yang ia taruh di kedua tangannya.”

Ini aku rasa sudah memenuhi apa yang diinginkan Uda Agus. Ketika giliran Fian, sedikit lebih baik dari Vivi namun ia juga berpanjang-panjang dalam bercerita. Intinya sih belum sesuai harapanku. Ini pandangan pribadiku lho ya, gaes. Hehehe.

Selanjutnya giliran Ken memberi pertanyaan. Aku kurang menyimak apa pertanyaan dari si pemilik pabrik cerpen ini karena sibuk jepret kiri-kanan-depan-belakang. Ketika giliran Kang Khoer, aku baru dapat kembali menyimak.

Pertanyaannya sih awkawkrd banget. Pertanyaan pertama, tanpa basa-basi Kang Khoer langsung meminta sebutkan salah satu cerpen Prof. Budi Darma dan ceritakan sekilas. Langsung deh tuh anak dua kelimpungan. Padahal malam sebelumnya kami sempat menyinggung tentang kumcer Orang-Orang Bloomington. Bukannya menjawab, yang terjadi selanjutnya adalah edisi maaf-maafan lahir batin karena ini anak dua tidak tahu jawabannya. Hellooo, ini bukan edisi lebaran ya gaes pake maaf-maafan segala. Kayak aku dan Mbak Ajeng tahun lalu dong, meski kita tidak tahu lagu apa yang dimaksud Mas Masdar Zainal dan cerpen milik siapa pula yang dia bacakan, kami tetap jawab kok. Meski asal-asalan sih, yang penting gayanya meyakinkan, wkwkwk. #ditabok pemirsa

Pertanyaan kedua pun tidak kalah heboh. Sebutkan film yang diproduseri atau disutradarai oleh Garin Nugroho. Tetap aja ini anak dua masih kelimpungan. Tapi untunglah yang terjadi tidak sepenuhnya maaf lahir batin lagi. Di sini Fian bisa sedikit lebih baik dari Vivi karena dapat menyebutkan salah satu judul filmnya, yaitu Daun di Atas Bantal. Meski ini orang tidak tahu sama sekali sama ceritanya, ckckck. Bagiku, film Garin Nugroho yang masih teringat yaitu Rindu Kami PadaMu. Film ini ketika aku masih SMP dan aku kebingungan dengan loncatan-loncatan plot dari tokoh satu ke tokoh lain. Syukurlah pertanyaan dari Kang Khoer ini berakhir dan untungnya kalian tidak disuruh membacakan puisi seperti Kang Khoer ya gaes. Hahahaha.

Pertanyaan dari Kang Sandza pun aku juga kurang menyimak karena lagi-lagi sibuk kesana kemari. Tetapi giliran pertanyaan Mas Oke dan Kang Achoey aku memerhatikan. *dasar labil* Tapi ya udah, sesi ini kita skip aja, karena ini anak dua jawabannya gak smart-smart amat sih. :v

Setelahnya, sesi grand final ditutup dengan review oleh Uncle terkait penugasan akhir yaitu membuat kumcer. Nah, ini anak dua masih aja teledor. Tidak ada satu pun dari mereka yang memberi naskah dengan judul. Di sini mereka disentil oleh Uncle mengapa melakukan salah satu hal yang cukup fatal dalam penilaian. Intinya, naskah Vivi secara garis besar menggambarkan tentang lokalitas, sedangkan naskah Fian tentang perempuan-perempuan metropolitan padahal sebetulnya ia memunculkan kesan urban di setiap cerpennya. Di sini nilai Vivi lebih unggul dari Fian.


Memasuki sesi istirahat, di sinilah aku bisa berkenalan dengan Majenis Panggar Besi aka Ojan, Uni Novita, Ade, Teguh Afandi, Bu Mimin, Marhamah, Mbak Puji, dan sis Dia. Kami berbicara satu sama lain hingga akhirnya waktu istirahat, salat, dan makan selesai.
 
Ini aku yang ngambil tapi pas mereka posting posting di medsos tidak ada yang menyatakan taken by Ilham. Mereka ini mengganggu aku banget lho padahal. Waktu itu aku sedang ngobrol asyik sama Bu Mimin dan Marhamah. Doraka! :v  

Ketemu Ade. Kita sering songong-songongan sih di fb :v



Ternyata Ojan kalo udah ngomong ngoceeh aja mulu. Gak ada berenti-berentinya :v 

Makan siang gratis


Selanjutnya launching “Kupu-Kupu Kematian” dan “Mimpi Merah Hari ke-40”. Dipandu oleh Kang Achoey membuat acara ini semakin semarak. Jadi kontributornya pada ke depan dan ditanya macem-macem seputar proses kreatif mereka. Vivi juga tampil dan ber-cas-cis-cus ria depan audience. Kali ini aku melihatnya sudah jauh lebih lepas dari yang tadi. Karena di sini ada dua kubu, maka masing-masing dari mereka mempromokan buku-buku mereka.





Then, ada sharing menulis cerpen dan puisi dari Ken dan Kang Khoer. Sebelum dimulai, Kang Khoer membawakan puisi dengan properti jilbab putih, bunga sedap malam. Ditambah haha-hihi suaranya yang memecah keheningan ruangan. Pokoknya horor-horor sedap gitu deh.

Nah pada sesi sharing, ini sesi emejing banget. Seorang Ken bercerita tentang perjuangan cerpennya untuk dimuat di koran Kompas. Katanya itu laksana kau Mendaki Gunung Elbros yang akhirnya kau sampai ke puncak tertinggi dan merasakan kelegaan yang luar biasa. Pokoknya spirit Ken ini panutan banget dah. Dan sesi ini juga menjadi sesi favoritku. Selanjutnya Kang Khoer juga bercerita tentang perjalanannya menjadi penyair. 

Akhirnya result Unsa Ambassador 2017. Sebelum mengumumkan, Kang Achoey memberikan kesempatan kepadaku untuk orasi perpisahan. Maka dengan segala rasa haru dan sedih aku mengucapkan patah demi patah kata hingga semuanya berakhir begitu saja. *mellow detected* Aku menutup dengan sebuah pantun. Bukannya memahami kesedihanku, para hadirin malah tertawa terpingkal-pingkal.

Kakek-kakek beli beras, nenek-nenek beli nasi.
Di akhir jabatan senyum terkembang jelas, namun sebenarnya menangis dalam hati.

Aku rasa pantun penutup yang aku lontarkan sudah cukup mewakili apa yang telah aku sampaikan. Kali ini, selempangku benar-benar terbang seperti yang terlintas di pikiranku tadi malam. Akan tetapi, terlepas dari rasa sedihku karena tidak lagi menjabat sebagai Unsam, yang perlu aku garisbawahi dalam penyampaian orasi perpisahan adalah baik untuk Vivi mupun Fian, makna sebuah kemenangan tidaklah harus juara. Kemenangan yang hakiki adalah jika kalian menerima apa pun dengan kepala tegak dan dengan lapang dada.

Ini tak hanya dalam kompetisi, namun juga dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu dalam menyikapi kehilangan, kepergian seseorang, dan lain sebagainya. Dan memang, mengutip sebuah kata bijak, dalam sejatinya hidup, hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Kalian telah mempertaruhkan segala sesuatu untuk sampai hingga top 2 ini. Dan bagiku, kalian telah memenangkan sesuatu yang sulit dijelaskan di Unsa Ambassaddor 2017 ini.

Finally, i hope, kalian terus mendukung satu sama lain dalam memajukan Unsa ya, gaes. Kami para alumni Unsam akan selalu mendukung kalian.

Kalau di Minang ada ungkapan "bapisah bukannyo bacarai" (berpisah bukan berarti bercerai)

Kang Achoey membuat suasana sedramatis mungkin. Sembari memegang selempang aku mengelilingi dua orang ini sambil memberikan kata-kata intimidasi. Agar tidak terjadi tragedi “pemenang yang tertukar” maka Kang Achoey memperlihatkan kepadaku skor akhir dua finalis. Aku melihat nama Fian tertera sebagai pemenang Unsa Amassador 2017. Maka ketika dengan lantang Kang Achoey menyebutkan nama Fian menjadi pemenang Unsa Ambassador 2017, maka aku memakaikan selempang kepadanya.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, dst

Fian menang banyak :v


 Sebenarnya foto ini khusus untuk para juri, top 2 unsam, dan uncle sih. Tapi kaga tahu bejimane ceritanye, aku malah nyempil di sini :v


Maka resmi sudah Fian menjadi pemenang. Aku melihat genangan air mata di sudut mata Vivi. Namun aku yakin itu bukan air mata kesedihannya karena tidak menjadi pemenang. Aku yakin ini adalah air mata kebahagiaan dan kelegaan karena perjuangannya di seleksi Unsa Ambassador 2017 berakhir sudah. Lagi pula tekanan selama menjadi finalis juga cukup berat. Teruslah bersemangat Vivi. Aku yakin perjuangan kamu tidak semata berhenti sampai di sini saja.

Ketika Fian berkesempatan memberikan orasi kemenangan, ia mengucapkan kata sambutan normatif layaknya yang biasa disampaikan. Lucunya, dia malah menanyakan kepada Vivi apakah mereka masih bisa berteman setelah ini. Aku tertawa dalam hati. Vivi karena lugunya, ketika diberi kesempatan menyampaikan sambutan kekalahan menyatakan bahwa mereka masih bisa berteman. Seperti katanya facebook apa yang  Anda pikirkan, aku menjadi berpikir, ini anak dua kapan jadiannya yak? #jadi kepo

Terlepas dari 'insiden' minta jadi teman itu, aku optimis Fian bisa lebih baik dari aku selama dia menjabat sebagai Unsa Ambassador 2017. Semangat Fian, jika ada hambatan selama menjabat, tenang saja. Itu mah udah derita loe.


Ini Vivi tiba-tiba menjadi tinggi bukan karena dia naik podium atau minum vitamin peninggi badan, bukaan.. Ini karena dalam foto ini Fian sedang menekuk lutut dan itu hanyalah senyum kepalsuan Fian. :v

Aku tidak terlalu mengikuti euforia kemenangan karena buru-buru mau salat. Selanjutnya aku beranjak ke atas dan setelah salat bertemu dengan Ojan dan Uni Novita. Kami kembali mengobrol cukup lama di sini. Ketika kembali ke bawah, aku juga berkesempatan berfoto dengan sis Dia. Beliau ini finalis nomor enam juga. Jadi lengkap deh kami finalis nomor 6 dari unsam 2015-2017 ngumpul.
 


We are number six



Selanjutnya adalah bersih-bersih. Ketika ini aku masih sempat-sempatnya nge-cas hp hingga ketika sudah turun aku baru sadar kalau itu hp masih di atas. Uda Agus yang melihatku geleng-geleng kepala dan menertawakan kekonyolanku. Setiba di atas, aku segera mencabut colokan carger dan bersamaan dengan itu mataku melihat sebuah tas yang tidak asing. Begitu aku dekati, aku tidak sanksi lagi ternyata itu adalah tas Uda Agus. Sesampai di bawah dan tas itu aku berikan, Uda melongo tak percaya bahwa ternyata ia juga ketinggalan sesuatu di atas.


Tiba saatnya sahabat Unsa berpisah. Karena mobil jemputan telah tiba maka kloter pertama pun berangkat ke penginapan. Aku tidak berada di antaranya. Uncle menyuruh yang cewek berangkat terlebih dahulu. Maka berangkatlah Ken, Uda, keponakan uncle, Vivi, dan Nunuk. Ketika kloter pertama ini berangkat, yang lain masih pada memesan grab car. Rombongan lain yang selanjutnya berangkat adalah rombongan Ojan, Uni Novita, Ade, dan Teguh. Lalu tinggallah Kang Sandza yang masih ragu memutuskan apa balik ke Bandung atau tidak, lalu Mbak Puji berserta temannya, Marhamah, dan sis Dia yang menunggu hujan reda. Beberapa saat, mumpung tidak rame lagi seperti yang tadi, maka ada sesi foto-foto yang sebetulnya ini agak gimana kalau dipost. Ini dijepret oleh Kang Khoer yang begitu antusias dengan skenario foto berikut ini.  

Don't try at home. Cuma acting.


Foto bareng Mbak Puji dan temannya, Sis Dia, dan Marhamah


Selanjutnya aku dan Mas Denny merayu Kang Sandza agar ke penginapan kami saja dulu. Nanti kita bisa sharing-sharing atau apalah gitu. Akhirnya Kang Sandza menyerah karena serangan yang bertubi-tubi dariku dan Mas Denny. Namun Kang Sandza memberi syarat kalau besok pagi bada Subuh dia sudah harus berangkat. Apa aja dah, yang penting Kang Sandza nggak pulang tengah malam aje. :v Selama menunggu kedatangan mobil jemputan yang akan mengangkut kloter dua, aku, Mas Denny dan Kang Sandza mengobrol seru. Sementara di sudut lain, Fian, uncle, dan Kang Achoey terlihat berbicara serius. Dugaanku sih, seperti janjinya tadi, Kang Achoey akan memberikan pelatihan gratis public speaking kepada pemenang Unsa Ambassador 2017. 

Ketika mobil jemputan tiba, kami pun segera masuk ke mobil. Mbak Dia beserta suaminya dan Fatih masih menunggu hujan reda, begitu juga dengan Kang Achoey kalau aku tidak salah. Selama perjalanan tidak ada yang istimewa. Untunglah di sini Kang Khoer tidak baca puisi lagi seperti halnya ketika sopir SIT Al-Madinah mengantar kami kemarin. Aku menduga, salah satu penyebab kami tersesat adalah karena suara Kang Khoer yang membaca puisi membuat siapa yang mendengar seperti tertarik magnet dan kehilangan konsentrasi. Ini asumsiku sih dan tidak teruji kebenarannya.

Tiba di penginapan, masih rame. Kami kumpul kembali di ruang televisi sambil menikmati snack yang tersisa. Karena sehabis acara para penghuni penginapan kebanyakan mendapat rejeki nomplok berupa buku-buku, maka yang terjadi selanjutnya adalah minta tanda tangan. Ini berlangsung hingga magrib. Makan malam terakhir menghadirkan menu yang istimewa yaitu ayam penyet dengan cabenya yang pedas sekali. Selanjutnya ada yang sibuk packing barang, nonton televisi, dan yang paling heboh itu adalah kamar depan yang tengah membahas film yang sepertinya cukup rahasia. Aku tidak bilang kalau judul film itu adalah biru adalah warna terhangat. :v

Ternyata keesokan hari adalah maulid. Kompleks serta merta berubah menjadi gegap-gempita karena bacaan salawat nabi bergema dari corong-corong masjid. Beberapa dari kami keluar bermaksud mencari oleh-oleh. Maka aku, Ken, Fian, Vivi dan Nunuk keluar menembus gerimis. Tidak happy ending sebenarnya. Tapi di sini kembali terlihat kekonyolan Vivi kalau kakinya kembali nyusruk ke lubang trotoar, dan satu lagi, ia sungguh tidak pandai menyeberang jalan. Persis seperti yang terjadi kemarin ketika kami sekembalinya salat magrib dan hendak menuju Mie Janda. Vivi masih sempat ngeles nanti kalau untuk urusan menyeberang kan ada suami. Lalu Nunuk nanya gimana nanti kalau suami Vivi ke luar kota. Vivi menjawab ia bisa minta tolong polisi. Ya kali kalo ada polisi, suka-suka lu aja dah Vi. :v

Kembali ke penginapan, aku berguru pada Kang Khoer tentang teknik membaca puisi. Kami belajar di kamar. Sementara yang lainnya sibuk mengobrol dan menonton di ruang televisi. Awalnya aku membaca puisi terlebih dahulu dan dikomentari oleh Kang Khoer. Pada saat yang bersamaan Fian muncul dan juga melihatku membawakan puisi. Ketika Kang Khoer memberi masukan dan berniat memberikan contoh, Fian sepertinya punya feeling yang tidak enak. Dia serta merta kabur dari kamar dan kembali bergabung dengan yang lain di ruang televisi. Benar saja. Setelah membacakan bait-bait puisinya, Kang Khoer kembali tertawa mengerikan seperti siang tadi. Karena hari sudah malam, nuansa horornya lebih terasa dibanding tadi siang. Bahkan suara gaduh orang-orang yang sedang menonton televisi serta merta hilang dan berubah menjadi hening. Mungkin mereka tengah khawatir dengan keadaanku yang tengah berada di depan pemilik suara haha-hihi yang menyaingi suara kuntilanak.

Aku belajar dengan Kang Khoer hingga larut sampai akhirnya memutuskan untuk istirahat. Di luar masih terdengar cekikikan Mas Denny dan Kang Sandza yang mengobrolkan sesuatu, lalu bergantian dengan suara Vivi, Nunuk dan Fian yang membicarakan entah apa. Sebelum benar-benar terlelap, suara salawatan Nabi masih terus bergema di seantero kompleks. Membayangkan apa yang akan terjadi besok, aku menjadi teringat bait lagu I don’t know why you said goodbye-Boulevard. Beberapa saat aku mengulang-ulang lirik lagu itu. Suka sih sama kata-katanya meski inti lagu ini aku nangkepnya perpisahan seseorang karena kematian. Tapi intinya lagu ini tentang perpisahan. :v

Besok, aku kembali ke Padang. Apa kabar Padang?

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar: