Senin, 26 Desember 2016

Grand Final Unsa Ambassador 2017 : Puncak Hari-Hari (Part 2)



Sebelum menjadi Top 2, sepuluh finalis Unsa Ambassador tiap tahunnya akan ditempa dengan berbagai penugasan yang susah. Sedangkan seleksi untuk mencari 10 besar sebetulnya juga tak kalah susah. Admin Unsa yang ditunjuk menjadi Tim Seleksi, akan menyaring berkas yang masuk. Penilaian mencakup background kandidat, karya berupa cerpen yang disertakan, cv diri yang dibuat, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Untuk seleksi tahun ini, aku berkesempatan menjadi Tim Seleksi bersama Unsa Ambassador 2014 dan 2015, kak Eni dan Ken. Dan ternyata, memang alot. Setiap kami memiliki kandidat masing-masing. Yang membuat perdebatan semakin sengit, kandidat yang kami pilih masing-masing berbeda. Di sinilah terjadi adu pendapat dan kelapangan dada untuk menerima pendapat satu sama lain.

Pagi Sabtu, 10 Desember 2016
Technical Meeting semalam tak urung membuat beberapa dari kami deg-degan. Bayangkan saja, hampir setiap dari kami akan mendapat jatah untuk perform di depan pelajar SMA yang kisarannya 50 orang. Aku akan memperkenalkan Unsa selama setengah jam dengan melibatkan Fian dan Vivi, Ken akan mengisi sesi sharing menulis dengan waktu setengah jam juga, dan bu dokter Intan akan jadi host pemandu lomba baca puisi. Meski cuma itu yang diprioritaskan untuk tampil, nyatanya secara dadakan, semua tim Unsa yang ikut, dapat bagian tanpa terkecuali. Termasuk Kang Denny, Kang Khoer, Nunuk, Uda Agus, sampai Uncle.

Pagi itu kami kedatangan keluarga Unsa yang lain. Beliau mengenalkan dirinya sebagai Kang Khoer Jurzani. Semalam aku mendapat pesan dari seseorang bernama Hoeruddin yang menanyakan alamat penginapan. Karena inbox yang masuk jam satu dini hari, maka aku baru menyadarinya ketika bertemu dengan Kang Khoer paginya. Setelah berkenalan dengan Kang Khoer maka tak lama Uncle tiba. Aku langsung mengatakan semalam ada seseorang bernama Hoeruddin yang menanyakan alamat. Tapi tidak tahu dia ada dimana sekarang. Tanpa menunjukkan keterkejutan, Uncle dengan suara datar mengatakan bahwa orang yang berada di depanku tak lain dan tak bukan adalah Mas Hoeruddin. Olala...

Rupanya pihak sekolah memberdayakan betul kehadiran kami. Aku yang masuk trip pertama datang ke Sekolah Islam Terpadu Al-Madinah bersama Uncle, Uda Agus, Fian, dan Kang Khoer (kalau tidak salah, sih), disambut oleh Pak Waris dan Pak Enjang Wijaya. Di ruang yang biasanya digunakan untuk rapat para guru, kami mengobrol panjang lebar tentang dunia peliterasian sekitar satu setengah jam. SIT Al-Madinah rupanya memiliki majalah yang terbit setiap bulan. Hampir semua dari konten majalahnya diisi oleh pelajar tingkat SD-SMA. Pak Waris juga meminta masing-masing kami memberi masukan untuk majalah ini ke depannya. Di sini kita juga bertemu Kang Achoey, keluarga Unsa juga, dimana karya beliau terdapat di buku Genduk bersama Uncle DAS dam Mas Riyanto.  Kang Achoey datang bersama istrinya, Teh Selfi dan dua mujahidnya yang pingin aku cubitin. Hehehe.


Majalah Al-Madinah terbit setiap bulan

Buku Keroyokan Uncle DAS, Kang Achoey, dan Mas Riyanto


Mendekati pukul setengah sepuluh, kami beranjak menuju aula tempat diadakannya acara. Tim Unsa langsung berbagi tugas. Ada yang mulai memajang piala di depan, mengeluarkan buku-buku Unsa yang akan dibagikan secara cuma-cuma, mengeluarkan blangko penilaian untuk lomba baca puisi, dan lain sebagainya.

Ternyata begitu rombongan siswa memasuki aula, peserta tak hanya siswa SMA saja, namun digabung dengan 50 orang lagi siswa SMP. Sehingga totalnya tak kurang dari seratus siswa. Buku yang Tim Unsa bawa ludes semua dibagikan. Fian yang mulanya udah ngiler ngelihat buku ‘Satu Hari yang Ingin Kuingat’ dan berharap ada sisanya satu eksemplar saja harus menelan kekecewaan, hahahaha. 

Sebelum memasuki sesi inti, Pak Waris yang juga seorang motivator mengisi ice breaking terlebih dahulu. Maka tanpa pernah kami duga, semua Tim Unsa dipanggil satu demi satu menceritakan kesehariannya menulis. Aku mendapat kesempatan pertama untuk maju ke depan. Mungkin Pak Waris tertarik dengan penampilanku yang sudah memakai selempang sejak tadi. Kepadaku, Pak Waris menanyakan mengapa menulis, apa motivasi menulis, dan pertanyaan ringan lainnya. Ketika giliranku selesai, berlanjut dengan Nunuk, Fian, Bu Dokter Intan, Vivi, Ken, Kang Khoer, Mas Denny, Uda Agus, dan Uncle. Yang memoriable banget sih ketika Pak Waris menanyakan salah satu judul buku budok Intan yang sudah terbit.

Spontan budok menjawab, “Namamu dalam Doaku.”

Dan Pak Waris langsung GR (gede rasa) seketika dan menyuruh budok mengulang lagi judul novelnya dengan alasan kurang kedengaran. Lol. Rupanya hal ini masih berlanjut pada giliran Vivi. Ketika ditanya salah satu judul novel yang paling berkesan, Vivi menjawab,

“Aku Menunggumu.”

Lagi-lagi Pak Waris menyemarakkan suasana dengan mengesankan judul yang dilontarkan Vivi untuk dirinya. Memang ya kalau motivator mah sudah tidak diragukan lagi kelihaiannya mencairkan suasana. Yang bikin ngakak, ketika giliran Mas Denny Herdy menjawab, “Bumi Kuntilanak.” Dan Ekspresi Pak Waris pun langsung tersurut beberapa langkah ke belakang. Pokoknya bapaknya ekspresif banget.

Nunuk lagi ditanya macem-macem



Uncle 'diwawancara' :D


Uda in 'action'


Vivi habis mengatakan, "Aku menunggumu~~" kepada Pak Waris #eakk


Selesai Tim Unsa ditanya-tanya, ada pembawaan puisi yang bikin merinding dari Teh Silvi, istrinya Kang Achoey. Puisi yang dibawakan teteh adalah puisinya Pak Sutardji Calzoum Bachri. Teh Silvi ini dulunya pernah memenangkan lomba baca puisi W.S Rendra. Pokoknya tetehnya topcer deh. Sehabis itu Kang Khoer juga tampil dengan puisinya yang atraktif. Ini baru permulaan dari hari yang seru.

Selanjutnya Kang Achoey mengambil alih acara. Dimulai dengan pengenalan komunitas Unsa dan sepak terjang Unsa dalam mengenalkan literasi ke berbagai sekolah yang ada di pulau Jawa dan Sumatra. Aku mengisi sesi ini sembari memperkenalkan Fian dan Vivi sebagai finalis Top 2 Unsa Ambassador 2017. Tidak ada yang terlalu istimewa selama sesi ini. Selanjutnya giliran Ken mengisi sharing menulis ala dirinya. Barangkali karena jumlah siswanya yang sampai seratusan dan terdiri dari siswa SMP dan SMA, Ken cukup kesulitan mengendalikan massa. Syukurlah dengan membuka sesi tanya jawab sesi ini lebih cair.

Adik-adik, Unsa itu adalah .... bla bla bla

Vivi tengah mengatakan, "Adik-adik, dukung kakak, ya. Caranya dengan ketik ...." :v

Teh Silvi on attraction

Dua mujahid Kang Achoey. Ini pertama kali Kang Achoey melihat Teh SIlvi membawakan puisi. 

Kang Khoer in attraction

Pak Enjang







Jarang-jarang lho ada kesempatan emas berdialog langsung dengan Ken seputar menulis


Ken tengah menari-nari di atas penderitaan orang lain :v


Masuklah pada sesi inti acara ini, yaitu lomba baca puisi tingkat SMP-SMA oleh siswa/i SIT Al-Madinah. Budok langsung mengambil alih acara. Adapun puisi yang dibawakan adalah puisi finalis Top 3 Unsa Ambassador, yaitu puisi Fian, Vivi, dan Arrum. Sesi ini berdurasi sekitar dua jam dengan Teh Silvi, Kang Khoer, dan Pak Enjang sebagai juri yang memberi komentar. Tim Unsa bekerja cukup repot karena harus langsung menotalkan skor yang didapat. Tapi akhirnya rangkaian kegiatan ini berjalan lancar.

Budok lagi jadi 'host'





Dewan Juri

Para peserta yang budiman



The Winner



Selesai acara pembagian tropi dan paket buku, pihak sekolah langsung “menggiring” kami ke ruang rapat guru untuk makan siang. Dan menunya adalah... nasi padang. Ketika aku ke Surabaya tahun lalu maupun ke Bogor kali ini,  pembahasan tentang nasi Padang adalah obrolan yang menarik bagi orang-orang yang aku temui. Dan bagiku, kalau boleh jujur, (maaf) itu membosankan sebenarnya, hehehe. Mungkin bagiku yang tumbuh dan besar di Padang, nasi Padang dan sate Padang bukanlah sesuatu yang terlalu ‘wah’. Barangkali karena hampir selalu mencicipinya, membuat kesannya menjadi biasa saja. Lagi pula, kalau di Padang sendiri, jarang orang yang menggunakan embel-embel nasi Padang atau sate Padang. Namun lebih kepada asal daerah yang terkenal membuat masakan ini atau pemilik kedai ini, misalnya sate Dangung-dangung, kedai nasi Ni Nam, dan lain sebagainya.

Selama makan siang bersama para guru SIT Al-Madinah, kami “dicerca” dengan berbagai pertanyaan dari para guru. Mulai dari optimisme dalam berkarya, penjiwaaan, hingga tentang menulis dan prospeknya itu sendiri. Bergantian Tim Unsa menjawab sehingga obrolan itu pun semakin panjang lebar. Usai makan siang, kami bersiap untuk pulang. 

Suasana sekolah yang asri

Disebabkan mobil jemputan yang cuma satu, maka pihak sekolah bersedia mengantar satu kloter lagi ke penginapan. Sehingga kami pulangnya tidak tunggu-tungguan. Aku masuk ke dalam mobil dari pihak sekolah. Di sana juga ada Teh Silvi yang mau diantar. Awalnya aku sudah wanti-wanti dengan suara yang cukup keras agar sebaiknya membuntuti mobil rombongan di depan karena kami para lelaki keren yang ada di dalam mobil ini buta arah semua. Tapi pak sopirnya kelihatannya tidak mendengar. Sehingga begitu kami melihat ke belakang melihat keberadaan mobil Uncle dan rombongan, mereka hilang tak berbekas.

Maka keributan pun mulai terjadi. Antara pak sopir yang nanya apa arahnya ke sini atau ke situ (dan jelas tak ada dari kami yang bisa menjawab dengan pasti), lalu seseorang yang jadi pahlawan membuka google map tapi posisi dia sendiri malah menghadap ke belakang sehingga penafsiran arahnya jadi terbalik, yang harusnya belok kanan, malah dibilang kiri sehingga terjadi kerancuan (aku tidak bilang pelakunya adalah Fian).

Di tengah kebingungan yang berlangsung hingga setengah jam itu, kami pun sampai pada sebuah jembatan yang di bawahnya ada sungai kecil. Seseorang berkata di tengah keputusasaan kami, “Lihat, itu Sungai Citarum!”

Cukup menghibur. Beberapa dari kami tertawa namun kemudian sibuk kembali melihat palang penanda arah. Akhirnya setelah pak sopir menanyakan kepada seseorang, kami pun menemukan jalan yang benar. Hampir jam 2 kami tiba di rumah dan langsung disambut dengan pertanyaan Ken yang super, “Kalian habis dari planet mana sih?”

Spontan aku menjawab, “Dari Pluto.” :v

Lucunya, Uncle malah tidak feeling kalau kami malah tersesat dan mengira kami mengantar Teh Silvi terlebih dahulu. How poor we are. Salah sendiri sih, ngapain tidak memberitahu Uncle.
Rencana semula, kang Achoey berencana mengajak kami mampir ke kedai Mie Janda miliknya sehabis acara di SIT Al-Madinah. Namun karena beliau ada acara, maka direncanakan nanti sore kami akan ke sana. Sampai di penginapan, aku langsung salat Zuhur. Beberapa yang lain ada yang tidur-tiduran namun akhirnya semuanya malah berkumpul di depan televisi sambil menikmati oleh-oleh yang kami bawa. Budok Intan seperti rencananya tadi malam, akan ke Jakarta nanti sore karena ada reunian dengan temannya. Beberapa dari kami masih sempat merayu budok agar membatalkan rencananya. Namun karena keputusan budok sudah final, terpaksa acara grand final besok tanpa kehadiran budok.

Sebelum budok Intan pamit, aku sengaja ‘memborbardirnya’ dengan pertanyaan yang mulanya ringan-ringan hingga pada pertanyaan yang membuat budok sedikit berpikir. Karena sepertinya tidak ada yang memulai sesi ini, maka aku pun unjuk bicara. Awalnya sih seputar tentang kesehatan, lalu pengalaman budok jadi dokter di Halmahera selama setahun. Intinya budok sendiri sih tidak takut kalau berhadapan dengan mayat. Yang budok takuti kalau ia melihat kehadiran makhluk tak kasat mata. Pernah satu kali budok dan temannya satu lift dengan seorang bapak-bapak dan begitu pintu lift terbuka, bapaknya sudah tidak ada. Intinya sih, makhluk halus memang ada. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Puncak dari pertanyaan ini sih, ketika aku menanyakan siapa menurut budok yang pantas jadi Unsam selanjutnya. Pada bagian ini, budok sedikit mendesah sambil memandang ke arah Fian dan Vivi.

“Pertanyaan kamu kok berat banget sih.”

Aku masih ingat budok melontarkan kata-kata itu sebelum akhirnya ia mengatakan bahwa menurutnya Fian lebih pantas jadi Unsam selanjutnya. Tentunya dengan alasan bahwa dibanding Vivi, Fian lebih ‘membumi’. Kalau soal karya, semuanya sama-sama hebat. Pertanyaan ini aku lontarkaan bukan bertujuan untuk memecahbelah atau semacamnya. Namun hal seperti ini perlu didengar kedua finalis secara langsung agar bisa latihan shocktherapy bagaimana ia dapat bersikap jika mendengar pernyataan seseorang yang barangkali tidak ia senangi. 

Setelah itu, aku pun juga menyampaikan pendapatku tentang siapa yang aku jagokan jadi Unsam selanjutnya. Meski pada voting aku mendukung Fian, namun setelah bertemu dengan kedua finalis ini, karakter Vivi menurutku pantas menjadi Unsam selanjutnya. Hanya saja, memang agar lebih akrab dengan Vivi, harus kita yang lebih dulu aktif memulai pembicaraan. Berbeda dengan Fian yang cuma disapa sekali, maka dia yang akan membuat obrolan menjadi panjang. Ken juga memberikan pendapatnya siapa yang ia dukung. Ken mendukung Fian. Ketika ditanya alasannya, pokoknya ia mendukung Fian, titik. :v Di sini aku juga menyinggung tentang Maskun yang akhir-akhir ini lagi populer. Tapi sepertinya tidak ada yang begitu antusias. Ken pun karena tidak dipancing, malas angkat bicara :v


Gaes, jadi gini... (sesi yang paling heboh)

Barangkali karena lelah dan mengantuk, beberapa orang yang berada di depan televisi memilih tidur siang dan beranjak ke kamar dan ruang tamu. Sehingga tinggallah aku, budok, Vivi, Fian dan Nunuk. Aku bersama Vivi dan budok masih sempat membahas karya mereka yang masuk dalam antologi Mimpi Merah Hari ke-40. Dimana aku menjadi tim seleksi bersama Ken. Menjelang Ashar, aku bersegera mandi dan menghindari antre karena sebentar lagi Uncle pasti akan datang mengajak ke Mie Janda. Karena ada Nunuk di dalam, maka aku menunggu di dekat dapur sambil mengecas HP. Ternyata pada saat ini, kekonyolan Vivi kumat lagi. Mulai dari Fian yang meminjam pena yang malah ia kira minta tanda tangannya, lalu setelah itu Vivi bolak-balik ke sana ke mari mencari Nunuk yang sedang di kamar mandi dan pada titik kebingungannya. ia malah menanyakan padaku apa yang tengah Nunuk lakukan di dalam sana. Meledaklah tawa Fian yang mendengarnya. Budok yang ikut menyaksikan, dengan lirih berkata, 

“Vivi, kamu dalam satu jam kok bisa berkali-kali eror sih?”

Budok mengucapkannya dengan nada santai dan ekpresi kalem. Tanpa ada terlihat tawa yang tersungging dari bibirnya. Dari sini aku tahu bahwa budok itu karakternya tidak meledak-ledak. Barangkali karena profesinya sebagai dokter yang dituntut untuk tenang dalam berbagai kondisi.

Begitu Uncle datang, aku sudah siap. Sembari menunggu yang lain berkemas, kami yang sudah ready untuk berangkat, foto perpisahan dulu dengan budok Intan.


Sampai jumpa budok. Taken by Uncle.

Taken by Nunuk

Fokuslah pada orang samping kiri dan kananku

Semuanya berlangsung dengan cepat. Hari semakin sore dan perlahan-lahan mendung menjalari bumi disertai awan yang menggumpal-gumpal. Grab car yang dipesan budok tiba dan budok pamit terlebih dahulu. Selanjutnya kami menuju Mie Janda dengan grab car yang dipesan Ken dan Mas Denny. Aku semobil dengan Uncle, Ken, dan Fian dan kami berangkat lebih dahulu. Perjalanan menuju ke sana sedikit agak lama karena macet akhir pekan ditambah hujan deras yang akhirnya tumpah. Setibanya di sana, Kang Achoey telah menunggu dan kami mengobrol sembari menunggu yang lain. Rombongan kedua tiba bertepatan dengan masuknya salat Magrib. Kami menunaikan salat Magrib terlebih dahulu lalu kemudian menikmati mie janda.

Kita lagi di Mie Janda, gaes...

Menu Mi Janda

Mi Janda Komplit dan es d' kepo


Selama dua jam berada di mie janda, kami mengobrol satu sama lain. Lalu kemudian setelah diakhiri foto bersama kami pamit. Kang Achoey welcome banget. Ternyata kami masih akan bertemu dengannya di acara grand final keesokan hari. Kami pulang dan sedikit terjebak macet karena arus puncak. Aku tidak semobil dengan Uncle dan Ken. Kali ini Ken mengirimiku pesan apa tidak tersesat lagi. Untunglah grab car yang kami naiki bertindak dengan baik dan benar

Sampai di penginapan sudah jam sepuluh. Uda Agus tidak kembali ke penginapan karena diajak temannya nginap dan langsung menuju ke lokasi acara besok. Penginapan menjadi lebih sepi. Terlebih lagi Kang Khoer sudah tidur lebih awal sehingga tinggallah aku, Fian, Vivi, Nunuk, Ken dan Mas Denny. Tapi meski begitu bukan berarti kami langsung istirahat. Masih terhidang rupanya santapan makan malam yang membuat seluruh dari kami makan kembali. Kami masih melanjutkan dengan nonton televisi dan bicara ngalor-ngidul hingga tengah malam.

Akhirnya karena kelelahan yang tak dapat lagi ditawar, aku pun masuk kamar dan merebahkan diri sambil memandangi langit-langit kamar. Sebelum terlelap, masih membayang di ingatanku kelebatan tentang perjalananku menjadi Unsa Ambassador selama setahun ini. Entah sadar atau tidak, aku berucap lirih, selempangku akan terbang...

Apakah Fian atau Vivi?

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar: