Jumat, 06 Januari 2017

Grand Final Unsa Ambassador 2017 : Tentang Perjuangan yang Tak Akan Berakhir (Part 4-Tamat)



Salah satu yang membuatku terkesan dengan keluarga Unsa adalah tidak ada yang memiliki kebiasaan merokok. Baik itu Uncle DAS, Uda Agus, Ken, Mas Denny, Kang Sandza, Kang Khoer, Fian, apalagi Nunuk, Vivi, Budok Intan maupun kucing penginapan yang sering mengeong-ngeong.

Memang ini lebih kepada pandangan pribadi sebenarnya. Aku sendiri bukannya sok-sok-an tidak suka dengan rokok, perokok apalagi asap rokok yang bikin ilfil. Almarhum bapak memiliki riwayat penyakit asma sehingga memang sejak dari dulu aku alergi sekali dengan asap rokok. Lagi pula, almarhumah ibu juga pernah berpesan agar kelak dewasa nanti, aku jangan pernah merokok. Well, aku memang sudah yatim piatu sejak kelas 1 SMP. Bapak meninggal ketika aku masih SD karena asma yang dideritanya dalam usia 63 tahun, dan ibu karena tumor ganas stadium 4 yang menyerang rahimnya dalam usia 55 tahun. Tapi Alhamdulillah aku memiliki empat abang dan tiga kakak yang sangat perhatian. Mereka juga tidak pernah mengekangku dan selalu mendukung apa yang aku lakukan. Aku bersyukur hingga saat ini aku masih terus memegang teguh pesan almarhumah ibu.

Lalu bersama Unsa, aku bertemu dengan orang-orang yang sadar dan paham bahwa rokok memang banyak mudaratnya. Barangkali karena menuruti pesan ibu ini pula, aku dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar baik, tulus dan tanpa pamrih menolong. Salah duanya sih kayak Fian dan Vivi si Top 2 Unsa Ambassador 2017. Memang sih Fian dan Vivi kelakuannya kayak Tom and Jerry. Bedanya yang satu ngaku-ngaku ayam, yang satu ngakunya kecebong :v Tapi actually, mereka baik kok. Baik untuk diceburin ke laut biar gak berisik lagi. :v

Satu hal lucu yang aku mengalaminya langsung di Bogor adalah orang Sunda memang agak susah (atau memang tidak bisa?) menyebut huruf  f dan z. F diganti menjadi p, z diganti menjadi j. Misal : Fina Lanahdiana menjadi Pinah, Vivi Khlorofers menjadi Pipi Atmosper, Devi Eka menjadi Depi Ulala, Alfian menjadi Si Pian yang Tega Nian Temenan Sama Ayam. Kalau yang ini suka-suka penulisnya aja sih. :v

Itu terjadi ketika waktu itu kami membicarakan Mbak Jazim dan seseorang menyebutnya dengan Mbak Jajim. Awalnya aku nggak ngeh, apaan itu ‘jajim’. Rupanya ketika dijelaskan, meledaklah tawa dari kami yang bukan orang sunda. Yang paling besar ketawanya sih Fian :v Selain itu aku juga besyukur tidak mengenalkan namaku sebagai Fauzi, karena aku sudah yakin yang akan aku dengar bukanlah ‘fauzi’ tetapi ... (lanjutkan sendiri deh :v).

Memang di kalangan keluargaku sendiri, orang-orang terdekatku bahkan Uda Agus memanggilku dengan Fauzi, atau disingkat dengan Zi. Namun di lingkungan sekolah, kampus atau orang yang baru pertama kali bertemu, rata-rata mereka mengenalku dengan Ilham. Dan aku inginnya memang begitu.


Pagi yang terlalu cepat.

Aku telah bangun beberapa saat sebelum waktu subuh. Sepi dan hening. Tak ada lagi riuh salawat menyambut Maulid Nabi dari corong-corong masjid. Dengingan nyamuk amat mengganggu karena kipas angin dipakai oleh yang tidur di depan tv. Aku memicingkan mata sejenak membayangkan rentetan perjalanan yang akan terjadi hari ini. Perpisahan, akhirnya tiba jua waktunya.

Di luar, ternyata juga sudah ada yang bangun. Uncle yang menyengajakan tidur di penginapan juga sudah bersiap-siap mengatur sarapan untuk kami. Kang Sandza juga sudah bangun dan duduk terpekur di depan TV. Beberapa saat sebelum penginapan sibuk dengan masing-masing orang yang berbenah, aku masih sempat cekakak-cekikik bersama Kang Sandza dan Mas Denny. Sesuatu yang tak pernah aku duga bisa sedekat ini dengan duo penulis buku “Bumi Kuntilanak” ini. Kata mereka, kumcer “Bumi Kuntilanak” adalah buku perdana yang diterbitkan Unsa Press. Perkenalan intensku pertama kali dengan Unsa adalah karena buku ini. Waktu itu aku mau mengikuti lomba cerpil Unsa tema mitos dan dongeng kontemporer. Karena perlu kartu member, maka aku memesan buku ini. Akhirnya berawal dari buku inilah cerita panjangku bersama Unsa bergulir.